Site Meter Cinta Indonesia

Thursday, July 9, 2015

Dim Sum Inc

Sudah lama saya tidak update blog ini.
Kali ini saya ingin update tentang makanan. Namanya Dim Sum Inc, terletak di daerah Kemang Jakarta Selatan. 

Monday, November 10, 2014

Suara Siswanto

Masih ingat cerita Siswanto yang lumpuh ketika menjadi buruh di Malaysia?
Mas Siswanto pun mencoba bersuara lewat video Youtube mengenai keinginannya. 

Wednesday, May 7, 2014

Mengingat Mei 1998

Sekedar memperingati apa yang terjadi di Indonesia ketika peristiwa Mei '98.
16 tahun lalu.. Ketika kondisi Indonesia benar benar kacau dan terpuruk.
Begitu suram, penuh kekerasan dan menimbulkan trauma pada banyak orang. Terutama kaum Tionghoa di Indonesia. Trauma bukan tanpa arti, menyisakan luka begitu mendalam yang tidak bisa dilupakan. Kesedihan hati dan kekecewaan tak bisa begitu saja terluapkan. 

Ketika banyak orang yang merasa diri keturunan pribumi (asli Indonesia), memperlakukan dengan kasar mereka - mereka yang tidak bersalah. Anak kecil, ibu - ibu, semua menjadi korban. Tak peduli siapa pun mereka, asal terlihat mereka Tionghoa, semua menjadi kalap. Penjarahan dimana - mana, pembakaran, perusakan, seolah berubah menjadi kota setan. 

Tak seorang pun yang berani keluar dari rumahnya. 
Tapi mereka yang terpaksa keluar dari Indonesia,
Inilah ceritanya...


Cerita dibawah ini diambil dari sebuah blog milik (http://cstjhin.blogspot.sg/)


15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)

15 tahun yang lalu hari ini, sebuah tragedi melumpuhkan nalar dan hati kita di Jakarta. Hari-hari yang paling menakutkan dalam sejarah hidup saya sebagai seorang perempuan Tionghoa di Indonesia, di mana naluri saya terasa terjambak untuk kemudian bertanya secara kritis apa makna menjadi seorang "Indonesia". 

Sejujurnya, saya bukan seorang perempuan yang mudah takut. Sebagai seorang siswi di sebuah SMP Katolik di daerah Pecinan, saya sudah terbiasa "tawuran" dan berkelahi dengan lawan jenis yang secara fisik lebih besar dari saya. Tapi 15 tahun lalu, saya mengenal rasa takut yang begitu melumpuhkan.

15 tahun sudah lewat, 15 tahun saya menunda-nunda menulis tentang kejadian saat itu dan tentang timbunan amarah, kesedihan, rasa syukur dan harapan sepanjang 15 tahun ini yang menjadikan saya seperti apa adanya sekarang - dari perempuan Katolik kelas menengah Tionghoa yg memilih menjadi peneliti di thinktank dengan sejarah kontroversial demi Indonesia yg lebih baik. 

Paling tidak 6 tahun sudah lewat di mana saya sedang berjuang menyelesaikan studi di Tiongkok, sebuah negara di mana kerusuhan Mei 98 merupakan "label populer" bagi Indonesia - Indonesia yang "bengis", Indonesia yang "kejam", Indonesia yang "kotor dan menjijikan", Indonesia yang "anti-Cina". Sepanjang 6 tahun tersebut, hampir setiap kali orang Tiongkok mengetahui saya adalah Tionghoa Indonesia, mereka selalu merasa "kasihan" pada saya karena saya (Tionghoa) selalu diperlakukan seperti kotoran di negara saya sendiri. 

Saya selalu mencari cara untuk mengikis stigma "Mei 98" itu dalam rangka memperkuat Kemitraan Strategis antara Indonesia dan Tiongkok. Bukan hal yang mudah dilakukan. Berkali-kali saya katakan kepada mereka, "Indonesia sekarang sudah berbeda dengan Indonesia di Mei 98. Situasi Tionghoa sudah berubah, kalian jangan lagi benci atau takut pada Indonesia." Dari jawaban mereka, "O ya? Benarkah? Aman sekarang?" dll dll, entah mereka benar percaya ucapan saya atau tidak. 

Mungkin mereka lebih percaya omongan saya sebagai seorang keturunan Tionghoa daripada koran yang mereka baca, atau ucapan pejabat pemerintah Indonesia yang mereka temui, atau justru masih tidak terlalu percaya. 

Dengan penyesalan yang sebesar-besarnya, untuk sekarang ini, saya masih belum bisa menulis tentang apa yang terjadi 15 tahun lalu di rumah saya. Jangan tanya kenapa. Tapi yang jelas, saya dan keluarga masih terhitung "beruntung" dibandingkan keluarga-keluarga yang lain saat itu. Saya ingin menulis tentang itu, menulis sesuatu yang berarti, tapi belum bisa rasanya. 

Saya pernah membuat sebuah tulisan singkat saat awal membuat blog ini, yang hanya menyebut secara sepintas tentang kejadian saat itu. Tapi blog itu hanya berupa nostalgia, tanpa agenda, tanpa misi... Hanya sejumput paragraf pembuka untuk menjadi seorang blogger yang sedang bermimpi. Tidak cukup berarti rasanya.

Saat ini, saya hanya bisa meng-copy-paste status Mbak Dewi yang mengajak kita semua untuk TIDAK LUPA, tidak lupa pada perempuan Tionghoa yang menjadi korban perkosaan, pada komunitas Tionghoa, pada korban kerusuhan terlepas dari latar belakang etnis atau agama atau lainnya, pada para pelaku kejahatan, terutama para anjing-anjing politik elit yang saat ini merasa di atas angin dan merasa dirinya berpeluang menjadi pimpinan tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia terlepas dari peran mereka dalam kejadian 15 tahun yang lalu. 

Catatan rekaman peristiwa 15 tahun yang lalu ini ditulis oleh seorang sahabat perempuan yang berjiwa besar dan berhati bersih, Dewi Tjakrawinata. Saya mendapat kehormatan dan kesukacitaan mengenal perempuan hebat ini dari pengalaman membantu advokasi RUU kewarganegaraan beberapa saat sebelum kemudian menjadi UU di tahun 2006. 

Tindakan Mbak Dewi untuk memberikan tiketnya kepada seorang perempuan Tionghoa dan ibunya yang ketakutan mengingatkan saya pada seorang ibu tua yang menjadikan dirinya tameng bagi keluarga saya saat rumah kami diserang. 

Mereka bukan Tionghoa, tapi mereka perempuan.

Sesama perempuan yang tergerak hatinya untuk memberikan perlindungan kepada kaumnya.

Kehadiran perempuan-perempuan macam Mbak Dewi, ibu tua yang saya tidak pernah tahu namanya, dan perempuan-perempuan lain yang berjuang untuk tidak lupa dan memberikan penghiburan dan juga keadilan bagi para korban itulah bagian dari esensi kebajikan Indonesia sejati yang mengawal keyakinan saya kalau Indonesia akan menjadi lebih baik, suatu saat nanti.

Maaf jika masih harus menunda menulis pengalaman 15 tahun lalu, tapi saya tidak lupa, dan saya berterima kasih pada Mbak Dewi yang sudah mengingatkan saya.

Berikut uraian status Facebook beliau:

"15 tahun lalu di sebuah hotel di Singapura, aku terduduk memandang dengan tidak percaya siaran televisi Indonesia: amuk massa, chaos. Itu Negara ku, itu kotaku, itu bangsaku, bedil itu.... . Aku menyuruh Kevin yang saat itu berumur 5 tahun untuk pergi ke tempat temannya yang menginap di hotel yang sama. Aku tidak mau ia punya kenangan buruk tentang negara ibunya. Morgan dalam kandungan ku. Kami dipaksa mengungsi dari Jakarta karena perusahaan di mana Pol bekerja saat itu tidak berani ambil resiko dan tidak bisa menjamin keselamatan keluarga expatriate yang ada di Indonesia. Sampai saat ini aku masih ingat situasi ketika kami berangkat beberapa hari sebelumnya. Sebelumnya kami semua di tempatkan di sebuah hotel yang dijaga sangat ketat dengan tank dan tentara yang siap tembak dengan senjata laras panjang. Pada hari keberangkatan kami di bawa dengan 3-4 bus besar yang dikawal panser. Sepanjang jalan Semanggi menuju bandara kami melihat asap dan api di mana2; ruko-ruko yang dijarah kemudian dibakar tapi juga sepi yang menghujam: ini kota kelahiranku? Ponsel tidak berfungsi, sebelum berangkat aku hanya sempat bicara dengan ibuku untuk saling menguatkan dan mendoakan. Di bus kami itu hanya aku dan sopir yang orang Indonesia. Sesak dada dan kehabisan kata untuk menjawab pertanyaan keluarga lain. Aku juga tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Adakah teman yang tahu saat itu juga apa yang terjadi ? Di bandara ke chaos an menjadi luar biasa. Ini bukan bandara tapi tempat pengungsian ratusan ribu orang sepertinya tumplek di sana. Tidak ada yang percaya setiap kali aku ceritakan kemudian, bahwa pegawai penerima uang fiscal sampai terjepit di antara tumpukan rupiah yang menggunung. Pada saat terakhir GM perusahaan di mana Pol bekerja memintanya untuk tinggal dan meneruskan membantu proses pengungsian, karena ia satu2nya expat yang lancar berbahasa Indonesia. Aku sempat menawarkan tiketku dan Kevin ke seorang perempuan muda keturunan Tionghoa dan ibunya yang menangis terus hampir histeris. Saking chaosnya bahkan tiket kami pun tidak ada namanya. Kami sudah meneyerahkan tiket kami ketika tiba-tiba si perempuan tersadar dan hampir terjatuh, mengatakan : terima kasih mba, tapi kami tidak bisa berangkat ibu saya tidak punya paspor. Si ibu menggelosor dan menyuruh anaknya saja yang berangkat sambil melolong. Saya bahkan tidak sempat menanyakan apa-apa lagi karena panitia pengungsian kemudian mendorong saya untuk masuk ke ruang tunggu. Lama sesudahnya dan sampai sekarang setiap kali tragedi Mei diangkat saya ingat wajah perempuan muda itu dan ibunya. Di manakah mereka ? #menolak lupa dengan apa yang terjadi dengan perempuan keturunan Tionghoa"

Jangan lupa akan Mei 1998, jangan lupa akan semua tindak pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi dalam sejarah tanah air kita.

Jangan lupa. 

#MelawanLupa

Friday, May 2, 2014

10 Tahun, TKI Lamongan Menanti Keadilan

10 Tahun, TKI Lamongan Menanti Keadilan  

Ilustrasi penganiayaan. Elf.ru

TEMPO.CO Lamongan - Hal memilukan mirip kisah Erwiana Sulistianingsih, TKI asal Ngawi, dialami Siswanto sejak sekitar sepuluh tahun silam. Namun, hingga sekarang, pemuda 29 tahun itu luput dari perhatian, apalagi keadilan. Siswanto hanya terbaring sakit di rumahnya di Dusun Lengor, Desa Plangwot, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, sekitar 40 kilometer arah barat daya Kota Lamongan. (Baca: Disiksa, TKI Erwiana Mengalami Trauma Kepala)

Anak buruh tani yang masih melajang itu mengaku dianiaya saat bekerja di Malaysia. Tidak jelas sakit yang dideritanya. Namun di punggung, pantat, dan tangan kanannya banyak bekas luka. "Hidup saya lebih banyak di tempat tidur," tuturnya kepada Tempo, Kamis, 1 Mei 2014.

Sekitar sebelas tahun lalu, ia merantau ke Malaysia dengan biro jasa di Lamongan. Awalnya, dia dijanjikan naik pesawat, tapi ternyata naik feri dari Batam. Dia dipekerjakan di hutan dan tempat menginapnya di tenda di daerah Mercu Maju, Kuala Lumpur. Di proyek itu, dia dan teman-temannya menggarap pembangunan irigasi.

Tak lama kemudian, dia ikut warga keturunan Cina di Kuala Lumpur. Dengan majikan baru, dirinya sempat beberapa hari bekerja hingga suatu hari dia mengalami sebuah kejadian. Namun dia mengaku tak ingat peristiwa dan penyebab dirinya sudah berada di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur dengan tubuh penuh luka, di antaranya di kepala, tangan kanan, punggung, dan pantat.

Dalam kondisi sakit, Siswanto dipaksa keluar dari rumah sakit dan kemudian diurus kepulangannya dari Malaysia. Dengan bantuan teman-temannya, dia bisa kembali ke rumahnya di Dusun Lengor, Desa Plangwot, Lamongan.

Sejak bertahun lalu, dengan difasilitasi Serikat Buruh Migran Indonesia, dia mengirim surat ke sejumlah pihak, termasuk ke kantor desa, BNP2TKI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan ke Presiden RI. "Tapi hingga kini belum ada responanya," ujarnya.

SUJATMIKO

sumber : Tempo.co

Friday, January 24, 2014

Gelombang Imigran Gelap di Indonesia

Saya mau sekedar sharing tentang imigran gelap yang mungkin sering kita dengar selama ini. Imigran gelap ini juga sering tertangkap di Kalibata City, kalau itu sudah tidak asing lagi ya….
Saya sharing disini karena sdh berpengalaman menanggani kasus mereka selama bekerja di United Nations. Info ini diharapkan untuk kita semua supaya lebih aware sama orang asing, karena tidak semua orang asing itu lebih baik daripada bangsa sendiri.

Sebelum nya maaf kalau emailnya agak panjang pakai banget.. hehehe.. 
Siapa saja imigran gelap yang saya maksud disini?
  1. Mereka yang berasal dari Negara Negara timur tengah seperti Syiria, Afghanistan, Iraq, Iran, Yaman, Egypt (Mesir), dan Negara - Negara Afrika seperti Zimbabwe, Nigeria, Somalia. juga ada Negara Negara lain di asia seperti Myanmar, Filipin, dll.
  2. Atau mereka yang berasal dari Negara - Negara perang lainya.

Terkadang kita bertanya, kenapa bisa jadi imigran gelap.. 
  1. Mereka yang masuk menggunakan passport palsu (sangat mudah bagi Negara - Negara tersebut untuk mendapatkan passport palsu, apalagi bagi mereka yang pernah transit/ tinggal di Malaysia)
  2. Mereka yang sengaja overstay di Indonesia
  3. Mereka yang menjadi korban smuggler untuk pergi ke Australia 
  4. Kurir narkoba internasional yang berpura pura menjadi imigran gelap
  5. Smuggler atau makelar perdagangan manusia yang bersindikat internasional

Apa tujuan mereka ke Indonesia?
  1. Indonesia menjadi Negara transit mereka sebelum mendapatkan suaka ke Negara ke tiga (Amerika, Denmark, German, terutama Australia).
  2. Mencari orang Indonesia (terutama wanita) untuk menyelamatkan status mereka yang sudah stateless atau bukan warganegara manapun untuk menjadi warganegara Indonesia.
  3. Menjadi sindikat perdagangan manusia (human trafficking), untuk mengambil orang - orang Indonesia untuk bekerja diluar negeri.
  4. Menjalankan bisnis narkobanya.

Siapa yang boleh dapat suaka?
  • Hanya mereka yang berasal dari Negara - Negara perang dan bermasalah secara politik atau sosial (seperti Iran, kalau pindah agama mereka akan di kejar oleh pemerintahnya untuk di bunuh).

Siapa yang menjadi pencari suaka / asylum seeker?
  • Jawabannya pasti, mereka yang sudah di verifikasi oleh UNHCR dan mendapatkan surat resmi dari UNHCR sebagai asylum seeker. Mereka dilindungi secara international dan diperbolehkan untuk tinggal di Negara transit dengan jaminan sertifikat Asylum seeker tersebut.

Bagaimana mendapatkan bisa dan boleh sertifikat UNHCR?
  • Merka harus diverifikasi oleh team khusus dari UNHCR berdasarkan fakta sejarah dan fakta kejadian yang berlaku ditempat asal mereka. Hanya mereka yang 

Itu tadi sekilas tentang imigran gelap tersebut. Nah sekarang apa dampaknya terhadap kita yang tinggal di Kalibata City (walaupun saya udh ga tinggal disitu lagi sih.. hihihi..)
  1. apartment / rusun di jakarta (dan di kota besar lainnya) sering kali dijadikan ‘tempat persembunyian’ bagi mereka. Kondisi ini juga sering dipergunakan oleh smuggler dan Bandar narkoba international untuk menjalankan bisnisnya.
  2. Para pendatang gelap yang ‘nakal’ ini sering kali kita dengar menggoda wanita Indonesia, anak anak dan sering kali juga perilaku mereka menyimpang. walaupun tidak jarang juga diantara mereka yang baik. Ataupun menyebarkan ajaran agama yang salah, yang bisa memecah belah Indonesia sebagai Negara yang memiliki Bhineka Tunggal Ika.
  3. Kita bisa dipersalahkan secara hukum karena melindungi dan membantu imigran gelap tersebut.
  4. Salah - salah kita bisa kena jebakan mereka sebagai tameng mereka dalam menjalankan bisnisnya.

Bagaimana kita mengetahui mereka boleh kita tolong (untuk menyewa unit kita atau apapun itu) atau tidak?
  • Untuk Negara - Negara tersebut, jangan lihat dari passport nya. Tapi lihat dari sertifikat UNHCR yang mereka miliki. Atau dilihat dari visa ijin tinggalnya di Indonesia, jangan membuat kontrak yang lebih panjang dari masa ijin tinggal mereka di Indonesia, begitu juga dengan yang memiliki UNHCR certificate ada masa berlakunya. Karena imigrasi Indonesia dan Kemenlu akan memperketat peraturan ini (walaupun gak tau mulai kapan), jadi bagi yang melindungi juga bisa terkena sangsi.

Apa yang bisa kita lakukan sebagai warganegara yang baik kalau menemui mereka yang tidak memiliki UNHCR certificate atau ijin tinggal yang jelas?

  1. Menolak secara halus dan tegas untuk tidak bisa tinggal / menyewa di unit kita.
  2. Kalau ada dari mereka yang berbuat ‘nakal’ katakana untuk bisa melaporkannya pada imigrasi Indonesia, sehingga certificate UNHCR nya bisa dicabut. (sebenarnya ini lebih kepada ancaman tegas)
  3. Lapor kepada pihak imigrasi kalau memang menganggu.

Kenapa saya bilang Gelombang Imigran Gelap?
  1. Salah satu tempat penampungan migran kita di Cisarua sudah ditutup paksa oleh pemerintah setempat, otomatis ini akan menjadi beban Jakarta sebagai kota terdekat, dan Kalibata City (dan beberapa apartment lain) sudah terkenal sampai international sebagai tempat migran ketiga setelah rumah detensi imigrasi dan IOM.
  2. Negara perang diluar sana semakin banyak, dan warganegaranya yang kabur pun juga makin banyak.
  3. Australia mulai menegaskan untuk tidak memberikan ijin tinggal di wilayah Australia, penempatan akan dilakukan di Nauru atau Papua. Otomatis Indonesia akan jadi ‘tong sampah’ bagi migran yang tidak ingin ditempatkan kesana.
  4. Banyaknya dari mereka yang ditolak pihak UNHCR, IOM maupun Negara ke 3 karena terindikasi smuggler, keterangan tidak sesuai dengan fakta atau memiliki catatan criminal dinegara lain.

Monday, October 14, 2013

Imigran Gelap Di Indonesia

Banyaknya keberadaan imigran gelap di Indonesia sering kali tidak disadari oleh masyarakat kita. Imigran gelap tersebut sering kali dianggap sebagai turis asing biasa yang derajatnya lebih tinggi. Para imigran ini sering kali dianggap sebagai orang yang memiliki banyak uang dan pantas mendapatkan perlakuan lebih di negara ini. Terlebih lagi dengan kenyataan di Indonesia yang seperti 'mendewakan' para imigran gelap ini; karena mereka yang kebanyakan berasal dari negara Timur Tengah dengan berwajah Arab. Entah karena apa pandangan orang Arab, bahasa Arab dan sesuatu yang ke Arab- Arab an dianggap lebih suci. Mungkin karena mayoritas bangsa kita beragama Islam.

Tapi pada kenyataanya para imigran gelap ini adalah mereka korban perang atau korban dari peraturan pemerintah negara - negara Syariah. Mereka menginginkan perlindungan dari negara lain agar tetap bisa melanjutkan hidupnya. Negara - negara yang memberikan suaka bagi imigran gelap diantaranya Australia, German, America, Denmark, Belanda, dll.

Kenyataan lainnya imigran gelap ini juga kurir - kurir narkoba yang dipakai mafia internasional untuk menghantarkan pesanan pelanggannya, mereka juga penyelundup perdagangan manusia. Itu yang tidak kita sadari.

Bahaya ga sih Imigran Gelap itu?
Ada bahaya yang sebenarnya pantas ditakutkan oleh masyarakat Indonesia secara luas.

1. Sempitnya pola pikir masyarakat yang berada di daerah pedalaman (lokasi awal ditemukannya imigran gelap biasanya dari pedalaman menggunakan kelemahan dari imigrasi kita, sebelum akhirnya masuk ke kota besar) bisa menyebabkan mereka jadi warganegara Indonesia tanpa tersaring badan yang berwenang (seperti Imigrasi)

2. Pola pikir bahwa orang dari negara - negara di Timur Tengah lebih dekat dengan Tuhan, karena semakin Arab, dianggap semakin suci (atau sejenisnya). Ini bisa menganggu stabilitas beragama, berbangsa dan bernegara. Karena bisa saja pemahaman mereka berbeda dengan pemahaman kita di Indonesia sebagai negara yang beragam budaya, ras, dan agamanya. Sehingga bisa menyakiti hati minoritas.

3. Banyaknya keluhan masyarakat akan tingkah laku mereka yang tidak sesuai di Indonesia. Sebut saja mulai dari tidak berkenan membayar toll ketika naik taksi, bahkan tidak ingin membayar argo hingga menggoda perempuan - perempuan dengan tidak senonoh,

Apa keuntungan Imigran di Indonesia?
Mungkin dari Anda bisa memberikan saya masukan, selain belajar agama.

Kenapa Imigran Gelap bisa ada di Indonesia?
Karena Indonesia sebagai salah satu jalur perdagangan manusia yang terkenal dimata imigran gelap, setelah Malaysia. Mereka tahu bahwa di Indonesia akan ditanggani oleh Perserikatan Bangsa Bangsa untuk masalah pencarian suaka.

Dari negara - negara pemberi suaka inilah, Indonesia didanai secara besar - besaran untuk penangkapan imigran gelap melalui salah satu lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa tersebut. Mereka juga diberikan uang tunjangan yang angkanya mencapai diatas angka 2 juta rupiah untuk tempat tinggal, biaya hidup, kesehatan termasuk makan dan minum. 

Saturday, August 17, 2013

Dirgahayu Indonesia Ku

Tanggal 17 Agustus ini merupakan Dirgahayu Indonesia ke 68. Apa yang sudah Indonesia capai selama 68 tahun? Bagaimana nasib bangsa kita? 
Jangan pedulikan nasib orang orang dikota yang merasa sudah berkecukupan dengan hidup sekarang ini. Tapi coba kita renungkan nasib saudara saudara kita yang dipedesaan, yang berjuang didaerah sampai harus ke luar kota atau bahkan keluar negeri mempertaruhkan hidup. 

Kita yang berada di Pulau Jawa, asyik menikmati kendaraan bermotor, pembangunan kota yang bagus, tempat perbelanjaan mewah hingga jalanan yang tak lagi bisa dilalui karena padatnya mobil pribadi. Coba pikirkan mereka yang didaerah pedalaman Kalimantan, daerah penghasil energy tapi belum terjamah oleh listrik. 

Pernah kah kita merenung, berapa banyak orang gila yang berada dijalan, tanpa adanya perlindungan atau perawatan dari pemerintah? Berapa banyak anak putus sekolah di daerah perbatasan Indonesia, tidak bersekolah karena tidak ada uang?

Tingginya biaya hidup, tingginya sikap egois kita yang tidak lagi peduli pada nilai nilai kemanusiaan, membuat angka 68 Tahun sebagai usia Indonesia merdeka hanyalah angka belaka. Ingatlah kawan, tua itu pasti.. Dewasa itu pilihan.

Sekarang tergantung bagaimana sikap kita ikut andil dalam kemerdekaan Indonesia.
Negara yang katanya kita cintai. 


Salam Merdeka!